By: sehatkufreemagazine.wordpress.com
Sumber : Widya Saraswati
Mungkin banyak di antara kita yang mendengar tentang kaitan stres dan kanker. Stres diyakini memberi efek besar bagi tubuh, menyebabkan reaksi hormonal sehingga dapat mempengaruhi perkembangan sel-sel kanker. Sebaliknya, stres yang timbul setelah seseorang didiagnosa kanker juga dinilai berdampak buruk terhadap perkembangan kankernya.
Yang dimaksud dengan stres dalam ranah psikologi ialah suatu keadaan yang menggambarkan apa yang dirasakan oleh seseorang ketika ia berada dibawah tekanan mental, fisik, atau emosional.
Stres terjadi ketika persepsi seseorang mengenai suatu kejadian, peristiwa, situasi atau keadaan tidak sesuai dengan pengharapan, dan yang bersangkutan tidak mengelola reaksi yang timbul terhadap perasaan kecewa itu.
Reaksi yang tidak terkelola itu mewujudkan sebagai bentuk ketegangan, penolakan, perasaan frustasi yang menggoyahkan kestabilan emosi maupun fisiknya, sehingga yang bersangkutan kehilangan ketenangan dan keseimbangan.
Mengalami tekanan psikologis dari waktu ke waktuitu sebenarnya normal. Namun demikian apabila seseorang mengalami tekanan dengan tingkat tinggi secara psikologi atau mengalaminya berulang kali dalam jangka waktu yang panjang, dapat timbul masalah kesehatan baik secara mental dan / atau fisik pada yang bersangkutan.
Stres dapat terjadi dari berbagai kegiatan dan tanggung jawab rutin dalam kehidupan sehari-hari, maupun akibat peristiwa-peristiwa yang luar biasa, seperti trauma atau penyakit yang dialami sendiri maupun dialami oleh anggota keluarga dekat.
Hormon Stres Meningkat
Pertanyaanya adalah, apa kaitan stres dengan kesehatan fisik seseorang? Apakah stres secara psikis mampu menimbulkan reaksi atau respon tertentu terhadap tubuh? Reaksi stres rupanya merupakan proses psikofisiologis sebagai cara tubuh memproses dan melepaskan tekanan emosi dan tekanan fisik.
Para pakar menemukan bahwa tubuh merespon tekanan baik secara fisik, mental atau emosional dengan melepaskan hormon stres ( epineprine dan norepinephrine ) yang berakibat meningkatnya tekanan darah, kecepatan denyut jantung, dan meningkatnya kadar gula darah.
Perubahan ini membantu yang bersangkutan untuk bertindak dengan kekuatan lebih besar dan kecepatan lebih tinggi untuk menghindari ancaman yang dirasakan.
Penelitian telah menunjukan bahwa orang yang mengalami stres mendalam dan berjangka panjang ( kronis ) dapat mengalami masalah pencernaan, kesuburan, masalah kencing, dan sistem kekebalan tubuhnya melemah.
Orang yang mengalami stres kronis juga lebih rentan terhadap infeksi virus seperti flu dan mengalami sakit kepala, gangguan tidur, depresi, dan kecemasan.
Bila demikian, apakah stres psikologis dapat menyebabkan kanker? Meskipun stres sanggup mengakibatkan sejumlah masalah kesehatan fisik, namun bukti ilmiah bahwa stres dapat menyebabkan kanker masih dianggap lemah oleh banyak kalangan medis dimasa sekarang.
Padahal sejumlah studi telah memperlihatkan hubungan antara berbagai faktor psikologis dan peningkatan risiko terkena kanker.
Hubungan yang jelas antara stres psikologis dan kanker bisa muncul melalui beberapa cara. Sebagai contoh, orang yang mengalami stres dapat mengutamakan perilaku tertentu, seperti mengkonsumsi alkohol dan merokok berlebihan, bisa juga makan berlebihan, atau minum minuman yang mengandung zat-zat kimia membahayakan sehingga meningkatkan risiko penyakit kanker.
Disamping itu, seseorang yang memiliki anggota keluarga mengidap kanker memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk terkena kanker karena faktor risiko bersama yang diwariskan.
Hasil penelitian yang dimuat di The Journal of Clinical Investigation menunjukan bahwa hormon stres, seperti adrenalin, langsung dapat mendukung pertumbuhan dan penyebaran tumor. Studi telah menunjukan bahwa stres dapat mempromosikan kanker secara langsung dengan melemahkan sistem pertahanan anti-tumor dengan mendorong pembentukan pembuluh darah tumor baru.
Penelitian Wake Forest Baptist Medical Center yang baru-baru ini dipublikasikan melalui Forbes membuktikan bahwa stres menghalangi efektivitas obat dan meningkatkan pertumbuhan kanker.
Penelitian Panjang Faktor Stres
Memasuki abad ke-20, terutama setelah hasil penelitian Pasteur tentang mikroba luar biasa sukses dan sangat mencengahkan , ditambah lagi dengan berbagai penelitian klinis mengalami kemajuan pesat, perhatian para ahli telah bergeser ke faktor-faktor eksternal sebagai penyebab kanker.
Para peneliti dibidang kedokteran semakin bergairah mempelajari sejumlah karsinogen dalam udara yang kita hirup, makanan yang kita makan, atau berbagai virus yang lebih patut dicurigai sehingga faktor emosional nyaris terabaikan.
Walaupun demikian kita tidak dapat mengabaikan begitu saja hasil-hasil penelitian di wilayah internal manusia itu sendiri.
Keyainan bahwa kanker berkaitan dengan stres atau emosi menyedihkan itu oleh Paul J. Rosch MD, FACP, Presiden The American and Psychiatry New York Medical College, disebut setua sejarah kedokteran dicatat.
Mengutip pendapat Rosch belum lama ini, lebih dari 2.000 tahun lalu dalam disertainya tentang tumor, De Tumoribus, Galen mencatat bahwa perempuan yang melankolis jauh lebih rentan terhadap kanker berbandingkan perempuan lain.
Tahun 1701, seorang dokter inggris, Gendron, menekankan efek “bencana kehidupan yang mendatangkan banyak kesulitan dan kesedihan” sebagai penyebab terjadinya penyakit kanker.
Delapan puluh tahun kemudian, Burrows menuliskan kanker sebagai penyakit akibat “pikiran gelisah dan amarah yang dialami dalam jangka waktu lama”.
Dokter abad ke-19 antara lain Nunn, menekankan bahwa faktor emosional mempengaruhi pertumbuhan tumor payudara. Sedangkan stern mencatat bahwa kanker serviks lebih banyak terjadi pada individu yang sensitif dan menyimpan perasaan frustasi.
Risalah Walshe memberikan perhatian pada “Pengaruh penderitaan mental yang tiba-tiba membalikkan keberuntungan terhadap kejadian karsinoma”.
Lebih dari 100 tahun yang lalu, Snow melakukan review terhadap lebih dari 250 pasien di London Cancer Hospital dan menyimpulkan bahwa “kehilangan anggota keluarga dekat merupakan faktor penting dalam proses bertumbuhnya kanker payudara dan uterus.”
Beberapa karakteristik yang sangat menonjol pada individu yang rentan terhadap kanker biasanya dikenali melalui perasaan putus asa dan tidak berdaya, ketidakmampuan untuk mengekpresikan kemarahan atau dendam, kuatnya perasaan ketidaksukaan terhadap diri sendiri, kesusahan, dan kehilangan hubungan emosional yang bermakna.
Everson dkk. mengevaluasi 2.500 pria yang mengalami perasaan putus asa. Para peneliti itu menemukan bahwa enam tahun kemudian para responden yang memiliki skor tertinggi perasaan putus asa, ternyata 3,5 kali lebih besar kemungkinannya meninggal akibat kanker atau penyakit jantung.
Dalam skala Holmes-Rahe, empat peritiwa perubahan hidup yang paling membuat stres semuanya berkaitan dengan kehilangan hubungan emosional yang penting; kematian/perpisahan dengan pasangan adalah yang paling tinggi.
Jika stres dapat menyebabkan kanker, maka mereka yang mengalaminya memperlihatkan tingkat keganasan lebih tinggi. Terbukti janda cerai/mati memiliki risiko lebih tinggi untuk menderita semua penyakit yang berakibat kematian, termasuk kanker.
Riset juga membuktikan depresi melemahkan fungsi sistem kekebalan tubuh menghadapi kanker, seperti yang terlihat sangat jelas pada sejumlah kasus keganasan dikalangan pasien AIDS, termasuk sarkoma kaposi yang langka.
Berbagai penelitian juga menunjukan terjadinya penurunan sangat cepat pertahanan sistem kekebalan tubuh setelah kehilangan pasangan.
Ada juga bukti yang mengaitkan peningkatan stres akibat kemajuan peradaban secara sahih berkontribusi terhadap kejadian kanker.
Bukan masalah polusi merokok, udara, asbes, bahaya radiasi, atau masalah karsinogenetik lainnya, melainka tekanan psikososial yang sudah lebih dulu ada sebelum hadirnya masalah-masalah terkait dengan modernitas itu.
Lebih dari 160 tahun yang lalu Tanchou dalam Memoir on the Frequency of cancer yang dikirim ke akademi ilmu pengetahuan Perancis, angka kematian akibat kanker pertahun di paris selama periode sebelas tahun adalah 20 per 1.000.
Sementara di London 80 per 1.000. Maka dengan bangga ia menyimpulkan bahwa data membuktikan Paris sebagai kota yang empat kali lebih beradab dari pada london.
Powell dalam The Pathology of cancer ( 1908 ) menyatakan: “tidak dapat diragukan lagi bahwa berbagai pengaruh peradaban berperan dalam menimbulkan kecenderungan kanker”.
Demikian pula, Roberts menulis dalam Malignancy and Evolution ( 1926 ), “apapun asal usulnya, sebagaian besar kanker merupakan penyakit peradaban.”
Stres perempuan & perubahan peradaban
Belum lama ini pemerintah Amerika Serikat mengumumkan data terbaru yang membingungkan tentang peningkatan kejadian kanker payudara pada wanita paruh baya; sebuah kondisi yang sesungguhnya sama dengan perkembangan di Indonesia.
Para ahli tidak memiliki penjelasan yang pasti mengapa perkembangan semacam itu terjadi, namun Prof. Rosch yakin hal itu berkaitan dengan stres akibat perubahan peradaban.
Perubahan yang hidupnya mapan, saat hamil dan punya anak pertama kali usianya cukup muda, terbukti semakin kecil kemungkinannya mengalami kanker kanker payudara.
Kehamilan menurunkan prolaktin, hormon hipofisis yang merangsang pertumbuhan jaringan payudara dan menyuburkan kanker payudara, pada hewan percobaan.
Semakin banyaknya perempuan memasuki angkatan kerja, mereka cenderung semakin lama membujang, atau menikah tapi memutuskan untuk tidak memiliki anak, atau menikah dan punya anak ketika usianya sudah jauh lebih tua.
Jumlah perempuan yang memiliki anak pertama setelah usia 35 tahun meningkat lebih dari lima kali lipat sejak tahun 1970. Pada perempuan yang berorientasi pada pekerjaan dan tidak punya anak, ternyata kejadian kematian akibat kanker varium lebih tinggi.
Perempuan karir yang membujang menurut penelitian 14 kali lipat lebih besar risikonya mengidap kanker ovarium di bandingkan ibu rumah tangga. Stres kerja itu sendiri dapat menjadi faktor, kadang-kadang melibatkan pelecehan seksual.
Di dunia kerja perempuan harus bersaing lebih keras dengan laki-laki maupun perempuan untuk menduduki jabatan, namun penghasilan mereka tetap lebih rendah di banding kolega prianya.
Lebih dari itu, kebanyakan perempuan menikah harus menangani tanggung jawab pekerjaan rumah tangga sekaligus menjadi seorang istri, supermama, atau menjadi orang tua tunggal dan terpaksa menyerahkan tugas pengasuhan anak kepada orang tua atau sanak saudara lain.
Dapat dikatakan bahwa dengan kemajuan peradaban maka stres merupakan bagian dari kehidupan perempuan, baik yang bekerja diluar maupun di dalam rumah.
Apakah semua itu merupakan berita buruk? Tentu saja tidak, karena banyak sekali kebaikan yang didapatkan dengan semakin independen, terdidik dan setaranya perempuan dengan laki-laki di tantangan bagi perempuan peradaban menjadi tantangan bagi perempuan maupun pakar kesehatan untuk menjadikan kaum hawa lebih sehat dan sejahtera.
MARI BAGIKAN ARTIKEL PENTING INI KEPADA SAHABAT & ORANG-ORANG YANG KITA KASIHI….
Baca juga beberapa artikel penting berikut ini:
Saya tertarik dengan artikel yang ada di website anda yang berjudul ” Kaitan antara stress dengan kanker “.
Saya juga mempunyai jurnal yang sejenis yang bisa anda kunjungi di Jurnal Ilmiah Psikologi